Sabtu, 22 Maret 2014

ONE DAY ON AUGUST 2009


Ibu saya adalah seorang wanita sederhana yang kebetulan berprofesi segai seorang pengajar alias guru di sekolah dasar.
Maaf, bukan bermaksud menyombongkan diri, disini hanya bermaksud untuk berbagi saja.
Kembali ke ibu saya, beliau punya filosofi sederhana dalam hidup ini.
Pertama, jangan memaksakan sesuatu keadaan di luar kuasa kita.
Kedua, hiduplah sederhana tanpa berlebihan meskipun berlebihan mungkin mampu di lakukan.
Ketiga, banyak-banyak lah memberi kepada sesama, terutama kepada mereka yang kekurangan. Dengan kata lain janganlah menjadi pelit.
Ke empat, ketika di rasa sudah tidak lagi mampu mengahadapi persoalan dunia, kembalikanlah kepada yang Maha Tahu, Maha Sempurna dan Maha Segalanya, yaitu Allah SWA.
Dan sebenarnya masih banyak lagi nilai-nilai hidup yang diajarakan oleh ibu saya selain dari empat di atas.
Namun begitu, empat itu saja sudah sangat banyak yang harus di pahami.
Ibu dalam mengajarkan sesuatu kepada kami anak-anaknya, tidak hanya sekedar ngomong, tapi beliau juga memberi contoh kepada kami.
Satu yang perlu di ingat dan selalu di camkan oleh ibu kepada kami, bahwa berilah kepada orang lain sesuatu yang bagus, seumpama makanan, berilah makanan terbaik jangan yang buruk.

Mengenai memberi…saya teringat beberapa bulan yang lalu.
Ketika itu saya sedang di atas bus, hendak pulang ke Sidoarjo. Sampai Kraton ada dua orang babap-bapak, yang satu masih berumur kira-kira 36-38 tahun, sedang yang satunya lagi kira-kira berumur lebih dari 55 tahun.
Ketika sampai Gempol, kebetulan kursi di depan ku kosong, dan kedua bapak-bapak itu pun pindah di kusri tsb.
Dari logat bahasa bercakapan mereka, yang sangat akrab, jelas sekali bahwa  mereka berasal dari Kulonan. Kulonan yang saya maksud disini adalah Blitar, Kediri, Tulung Agung, Kertosono, Pacitan, Trenggalek, Nganjuk, Madiun, Ngawi dan Magetan.
Yang masih muda memanggil yang tua dengan sebutan “Wek”
Yang berasal dari kata “Mbah tuwek” atau kakek tua.
Karena merasa masih satu rumpun,,hehe…, kemudian saya pun ikut ngobrol dengan mereka.
Berawal dari sekedar tanya aslinya mana, dari mana, hingga sampai anaknya berapa dan terakhir kerja dimana.
Sampai pada pertanyaan itu, saya pun tergugu akan jawaban mereka.
“Ingat jalan raya dekat alun-alun Bangil itu mbak, yang akhir-akhir ini sering macet gara-gara pengaspalan jalan ? lha itu yang ngaspal kita.”
Begitu jawab yang muda.
Meraka berdua asli Kertosono, dan mereka adalah pekerja kasar harian, tukang aspal jalan.
Mereka sebenarnya untuk sementara mondok di pondokan pekerja selama proyek pengaspalan jalan itu berlangsung, dan meraka sudah ada di sana sebulan lebih. Dan karena dari hari senin sampai kamis mereka tidak dipekerjakan, maka hari jum’at sore mereka memutuskan kembali pulang ke Kertosono.
Aduh…terpikir oleh saya, berapa upah mereka, apakah cukup untuk menghidupi anak isttri..?
Padahal untuk transport saja merka sudah habis banyak. Bayangkan Kertosono Pasuruan…?!
Duh Gusti….

Saya lama terdiam, membayang kan diri saya pada posisi mereka. Belum tentu saya kuat menghadapi kerasnya hidup seperti itu.
Seketika saya berkeinginan memberi sesuatu pada mereka berdua.
Tanpa menunggu lama, karena kawatir logika saya mengambil alih perasaan, saya mewujudkan keinginan itu.
Saya beri mereka kacang asin yang sebelumnya saya beli di Bonagung, karena hanya itulah yang saya punya saat itu selain uang yang tidak seberapa dalam dompet. Karena tentu saja mereka akan menolak bila saya kasih uang.
Tapi sayang sekali meraka menolaknya.
“Ah tak apa-apa, toh saya bermaksud baik “ begitu pikir saya.
Sesampai Bungurasih, ada sesuatu yang membuat saya terharu.
Ketika hendak turun, salah satu dari mereka berpesan kepada saya,
Hati-hati lho mbak “
sebenarnya itu biasa saja, toh saya sering mendapatkan ucapan tsb baik dari teman, suami dan orang tua.
Tapi entahlah, radar hati saya mengatakan kalau ucapan itu sangat tulus.
Dan itu membuat saya terharu, sehingga sampai rumahpun saya terus saja mengingatnya.


Saya belajar satu hal di sini, bahwa hakekat memberi tidak terpatok pada memberi sesuatu berupa materi. Perhatian kecil dan tulus saja itu sudah lebih dari cukup dan mungkin lebih berarti dari materi.
----
[Run]-Pas22032014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar