Sabtu, 22 Maret 2014

MY HOBBIES


“Bu Runa hobinya apa ?”
Itulah pertanyaan dari siswa yang sering terlontar ketika hari pertama mengajar.
Hari pertama mengajar memang di isi dengan perkenalan.
Lucu juga, maklumlah pertanyaan anak baru gede (ABG) yang belum genap 17 tahun.
Mungkin mereka penasaran, atau mungkin karena informasi yang saya berikan kurang lengkap sehingga mereka menanyakannya.
Atau mungkin juga karena saya suruh bertanya, dan karena tidak ada bahan untuk pertanyaan maka meraka menanyakan hal ini.
Ketika saya ditanya mengenai hobi, serasa masih ABG juga, hahaha….

Hmmm…hobi ya….
Dulu sekali, saat umur 13-16 th saya pernah mengklaim bahwa hobi saya adalah filateli.
Itu lho.. hobi mengumpulkan perangko bekas dari tahun-tahun terdahulu.
Dan biasanya saya tukar menukar dengan teman.
Makin lama (jadul) tahunnya saya akan sangat senang sekali untuk memburunya.
Sebenarnya saya kurang menikmati hobi tersebut.
Mungkin karena saya hanya ikut-ikut teman, hanya karena merasa bahwa hobi tsb sangat bonafit untuk di jadikan sebuah kegemaran.
Hah...dasar anak-anak yang masih dalam proses pencarian jatidiri.
Belum cukup mengerti akan dirinya sendiri.
Saat SMA sempat juga saya terpengaruh teman yang hobi membaca komik bergambar dari Jepang. Pemikiran saya jaman dahulu, sungguh keren anak yang punya hobi tsb.
Dan sekali lagi, serta merta saya mengklaim bahwa hobi saya adalah membaca komik.
Hahaha...konyol.
Tapi tahu kah anda...membaca komik tetap menjadi kesenangan tersendiri bagi saya sampai sekarang

Sebenarnya apa arti dari hobi itu sendiri ?
Menurut kamus besar bahasa indonesia, hobi memiliki arti: kegemaran; kesenangan istimewa pada waktu senggang.
Bila boleh saya berpendapat, hobi adalah sebuah kegemaran dari seseorang.
Dimana ketika orang tsb melakukan kegemarannya dia akan sangat menikmatinya dan seakan lupa akan segalanya.
Semur hidup saya, ada suatu waktu dimana saya sangat menikmati saat tersebut.
Dan itu adalah menulis.
Ya menulis...
Saat saya masih duduk di bangku sekolah, saya kurang suka dengan mengarang.
Saya beralasan bahwa saya ini termasuk anak pendiam jadi tidak mungkin untuk bisa menulis dan mengarang.
Mengarang tidak termasuk dalam hobi yang saya klaim.
Hehehe....
Awal 2007 saya menikah, dan saya memutuskan untuk keluar dari tempat kerja saya sebelumnya.
Dan hampir satu tahun setelahnya saya menjadi ibu rumah tangga murni.
Suatu kali saya pernah mengalami apa yang dinamakan suntuk. Dan terasa sampai ke ubun-ubun.
Iseng, saya membuka laptop suami saya, dan kemudian jari-jemari saya seperti tidak bisa di rem untuk berhenti.
Saya sangat menikmati sampai saya lupa akan waktu.
Dan selalu yang saya harapkan saya bisa menulis setiap waktu saya inginkan.
Ya....saat itu saya sangat gila akan menulis. Sampai-sampai saya keranjingan untuk membeli buku yang berkaitan dengan tulis menulis.
Sebuah kenikmatan yang saya peroleh dari menulis adalah perasaan lega ketika saya menyelesaikan tulisan saya.
Dan satu lagi, pikiran seolah menjadi segar kembali, alhamdulillah.

Ternyata, sesuatu yang dulu dulu hindari sekarang saya nikmati.

Dan dengan tanpa malu saya mengakui bahwa hobi saya saat ini dan insyaalloh seterusnya selain MEMASAK adalah MENULIS.
----
[Run;Pas-22032014]

ONE DAY ON AUGUST 2009


Ibu saya adalah seorang wanita sederhana yang kebetulan berprofesi segai seorang pengajar alias guru di sekolah dasar.
Maaf, bukan bermaksud menyombongkan diri, disini hanya bermaksud untuk berbagi saja.
Kembali ke ibu saya, beliau punya filosofi sederhana dalam hidup ini.
Pertama, jangan memaksakan sesuatu keadaan di luar kuasa kita.
Kedua, hiduplah sederhana tanpa berlebihan meskipun berlebihan mungkin mampu di lakukan.
Ketiga, banyak-banyak lah memberi kepada sesama, terutama kepada mereka yang kekurangan. Dengan kata lain janganlah menjadi pelit.
Ke empat, ketika di rasa sudah tidak lagi mampu mengahadapi persoalan dunia, kembalikanlah kepada yang Maha Tahu, Maha Sempurna dan Maha Segalanya, yaitu Allah SWA.
Dan sebenarnya masih banyak lagi nilai-nilai hidup yang diajarakan oleh ibu saya selain dari empat di atas.
Namun begitu, empat itu saja sudah sangat banyak yang harus di pahami.
Ibu dalam mengajarkan sesuatu kepada kami anak-anaknya, tidak hanya sekedar ngomong, tapi beliau juga memberi contoh kepada kami.
Satu yang perlu di ingat dan selalu di camkan oleh ibu kepada kami, bahwa berilah kepada orang lain sesuatu yang bagus, seumpama makanan, berilah makanan terbaik jangan yang buruk.

Mengenai memberi…saya teringat beberapa bulan yang lalu.
Ketika itu saya sedang di atas bus, hendak pulang ke Sidoarjo. Sampai Kraton ada dua orang babap-bapak, yang satu masih berumur kira-kira 36-38 tahun, sedang yang satunya lagi kira-kira berumur lebih dari 55 tahun.
Ketika sampai Gempol, kebetulan kursi di depan ku kosong, dan kedua bapak-bapak itu pun pindah di kusri tsb.
Dari logat bahasa bercakapan mereka, yang sangat akrab, jelas sekali bahwa  mereka berasal dari Kulonan. Kulonan yang saya maksud disini adalah Blitar, Kediri, Tulung Agung, Kertosono, Pacitan, Trenggalek, Nganjuk, Madiun, Ngawi dan Magetan.
Yang masih muda memanggil yang tua dengan sebutan “Wek”
Yang berasal dari kata “Mbah tuwek” atau kakek tua.
Karena merasa masih satu rumpun,,hehe…, kemudian saya pun ikut ngobrol dengan mereka.
Berawal dari sekedar tanya aslinya mana, dari mana, hingga sampai anaknya berapa dan terakhir kerja dimana.
Sampai pada pertanyaan itu, saya pun tergugu akan jawaban mereka.
“Ingat jalan raya dekat alun-alun Bangil itu mbak, yang akhir-akhir ini sering macet gara-gara pengaspalan jalan ? lha itu yang ngaspal kita.”
Begitu jawab yang muda.
Meraka berdua asli Kertosono, dan mereka adalah pekerja kasar harian, tukang aspal jalan.
Mereka sebenarnya untuk sementara mondok di pondokan pekerja selama proyek pengaspalan jalan itu berlangsung, dan meraka sudah ada di sana sebulan lebih. Dan karena dari hari senin sampai kamis mereka tidak dipekerjakan, maka hari jum’at sore mereka memutuskan kembali pulang ke Kertosono.
Aduh…terpikir oleh saya, berapa upah mereka, apakah cukup untuk menghidupi anak isttri..?
Padahal untuk transport saja merka sudah habis banyak. Bayangkan Kertosono Pasuruan…?!
Duh Gusti….

Saya lama terdiam, membayang kan diri saya pada posisi mereka. Belum tentu saya kuat menghadapi kerasnya hidup seperti itu.
Seketika saya berkeinginan memberi sesuatu pada mereka berdua.
Tanpa menunggu lama, karena kawatir logika saya mengambil alih perasaan, saya mewujudkan keinginan itu.
Saya beri mereka kacang asin yang sebelumnya saya beli di Bonagung, karena hanya itulah yang saya punya saat itu selain uang yang tidak seberapa dalam dompet. Karena tentu saja mereka akan menolak bila saya kasih uang.
Tapi sayang sekali meraka menolaknya.
“Ah tak apa-apa, toh saya bermaksud baik “ begitu pikir saya.
Sesampai Bungurasih, ada sesuatu yang membuat saya terharu.
Ketika hendak turun, salah satu dari mereka berpesan kepada saya,
Hati-hati lho mbak “
sebenarnya itu biasa saja, toh saya sering mendapatkan ucapan tsb baik dari teman, suami dan orang tua.
Tapi entahlah, radar hati saya mengatakan kalau ucapan itu sangat tulus.
Dan itu membuat saya terharu, sehingga sampai rumahpun saya terus saja mengingatnya.


Saya belajar satu hal di sini, bahwa hakekat memberi tidak terpatok pada memberi sesuatu berupa materi. Perhatian kecil dan tulus saja itu sudah lebih dari cukup dan mungkin lebih berarti dari materi.
----
[Run]-Pas22032014
Kisah 1000 Hari Sabtu
Shared by Fr. Rick of Kingston , NY



Makin tua, aku makin menikmati Sabtu pagi. Mungkin karena adanya keheningan sunyi senyap sebab aku yang pertama bangun pagi, atau mungkin juga karena tak terkira gembiraku sebab tak usah masuk kerja. Apapun alasannya, beberapa jam pertama Sabtu pagi amat menyenangkan.

Beberapa minggu yang lalu, aku agak memaksa diriku ke dapur dengan membawa secangkir kopi hangat di satu tangan dan koran pagi itu di tangan lainnya. Apa yang biasa saya lakukan di Sabtu pagi, berubah menjadi saat yang tak terlupakan dalam hidup ini. 


Begini kisahnya.
Aku keraskan suara radioku untuk mendengarkan suatu acara Bincang-bincang Sabtu Pagi. Aku dengar seseorang agak tua dengan suara emasnya. Ia sedang berbicara mengenai seribu kelereng kepada seseorang di telpon yang dipanggil "Tom". Aku tergelitik dan duduk ingin mendengarkan apa obrolannya.

"Dengar Tom, kedengarannya kau memang sibuk dengan pekerjamu. Aku yakin mereka menggajimu cukup banyak, tapi kan sangat sayang sekali kau harus meninggalkan rumah dan keluargamu terlalu sering.
Sulit kupercaya kok ada anak muda yang harus bekerja 60 atau 70 jam seminggunya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk menonton pertunjukan tarian putrimu pun kau tak sempat".

Ia melanjutkan : "Biar kuceritakan ini, Tom, sesuatu yang membantuku mengatur dan menjaga prioritas apa yang yang harus kulakukan dalam hidupku".

Lalu mulailah ia menerangkan teori "seribu kelereng" nya. "Begini Tom, suatu hari aku duduk-duduk dan mulai menghiitung- hitung. Kan umumnya orang rata-rata hidup 75 tahun. Ya aku tahu, ada yang lebih dan ada yang kurang, tapi secara rata-rata umumnya kan sekitar 75 tahun. Lalu, aku kalikan 75 ini dengan 52 dan mendapatkan angka 3900 yang merupakan jumlah semua hari Sabtu yang rata-rata dimiliki seseorang selama hidupnya. Sekarang perhatikan benar-benar Tom, aku mau beranjak ke hal yang lebih penting".

"Tahu tidak, setelah aku berumur 55 tahun baru terpikir olehku semua detail ini", sambungnya, "dan pada saat itu aku kan sudah melewatkan 2800 hari Sabtu. Aku terbiasa memikirkan, andaikata aku bisa hidup sampai 75 tahun, maka buatku cuma tersisa sekitar 1000 hari Sabtu yang masih bisa kunikmati".

"Lalu aku pergi ketoko mainan dan membeli tiap butir kelereng yang ada. Aku butuh mengunjungi tiga toko, baru bisa mendapatkan 1000 kelereng itu. Kubawa pulang, kumasukkan dalam sebuah kotak plastik bening besar yang kuletakkan di tempat kerjaku, di samping radio. Setiap Sabtu sejak itu, aku selalu ambil sebutir kelereng dan membuangnya" .

"Aku alami, bahwa dengan mengawasi kelereng-kelereng itu menghilang, aku lebih memfokuskan diri pada hal-hal yang betul-betul penting dalam hidupku. Sungguh, tak ada yang lebih berharga daripada mengamati waktumu di dunia ini menghilang dan berkurang, untuk menolongmu membenahi dan meluruskan segala prioritas hidupmu".

"Sekarang aku ingin memberikan pesan terakhir sebelum kuputuskan teleponmu dan mengajak keluar istriku tersayang untuk sarapan pagi. Pagi ini, kelereng terakhirku telah kuambil, kukeluarkan dari kotaknya. Aku befikir, kalau aku sampai bertahan hingga Sabtu yang akan datang, maka Allah telah memberi aku dengan sedikit waktu tambahan ekstra untuk kuhabiskan dengan orang-orang yang
kusayangi".

"Senang sekali bisa berbicara denganmu, Tom. Aku harap kau bisa melewatkan lebih banyak waktu dengan orang-orang yang kau kasihi, dan aku berharap suatu saat bisa berjumpa denganmu. Selamat pagi!"

Saat dia berhenti, begitu sunyi hening, jatuhnya satu jarumpun bisa terdengar! Untuk sejenak, bahkan moderator acara itupun membisu. Mungkin ia mau memberi para pendengarnya, kesempatan untuk memikirkan segalanya. Sebenarnya aku sudah merencanakan mau bekerja pagi itu, tetapi aku ganti acara, aku naik ke atas dan membangunkan istriku dengan sebuah kecupan.

"Ayo sayang, kuajak kau dan anak-anak ke luar, pergi sarapan" kataku, "Lho, ada apa ini...?", tanyanya tersenyum. "Ah, tidak ada apa-apa, tidak ada yang spesial", jawabku, " Kan sudah cukup lama kita tidak melewatkan hari Sabtu dengan anak-anak ? Oh ya, nanti kita berhenti juga di toko mainan ya? Aku butuh beli kelereng."


Pesan dari cerita ini :
SPEND YOUR WEEKEND WISELY AND MAY ALL SATURDAYS BE SPECIAL
AND MAY YOU HAVE MANY HAPPY YEARS AFTER YOU LOSE ALL YOUR MARBLES.
=====================================
Happiness Comes Not Becoz We Do Great Things
But We Do Small Things With Great Love